Setelah lama nyaris tak terdengar, kasus dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) 2004, Miranda Swaray Goeltom, kembali menyeruak. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini. "Ditetapkan sejak 8 Juni," oleh M. Jasin, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan. (Kompas, KPK Tetapkan Empat Tersangka Kasus Suap Miranda, 9 Juni 2009)

Keempat orang itu adalah Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri yang kini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hamka Yandhu dari Fraksi Golkar, Endin Sofihara dari Partai Persatuan Pembangunan, dan Dudi Ma`mun Murod dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Mereka disangka menerima suap masing-masing sebesar Rp 500 juta dalam bentuk cek perjalanan usai terpilihnya Miranda sebagai Deputi Senior Gubernur BI.

Keempat orang tersebut dijadikan tersangka setelah KPK menemukan dua alat bukti, yakni cek perjalanan serta keterangan para saksi. Yasin membantah penetapan keempat tersangka ini terkait dengan upaya politisasi terhadap calon presiden tertentu. KPK, ucap Yasin, akan terus memburu anggota DPR lainnya yang diduga menerima cek perjalanan itu. "Ini baru tahap pertama," kata Yasin. Tentang Hamka, ia adalah terpidana kasus suap aliran dana BI ke DPR dalam meluluskan Undang-undang BI dan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas BI. Ia sudah dipidana 3,5 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Sementara Endin mengaku kecewa terhadap KPK. Namun, ia tetap akan mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

Menurut temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK ada 480 pembeli cek perjalanan yang dibagikan kepada anggota DPR senilai Rp 24 miliar. Namun kata Yunus Husain, Ketua PPATK, pihaknya belum menemukan siapa pembeli cek itu. Akan tetapi, PPATK telah menyerahkan nama-nama yang mencairkan uang itu kepada KPK. Sepuluh orang di antaranya anggota DPR. Sisanya keluarga, istri, teman, hingga mahasiswi.

Mereka yang diduga mencairkan cek sendiri adalah Emir Moeis, Agus Condro Prayitno, Soewarno, Suratal H.W., Ni Luh Mariani Tirtasari, dan Budiningsih. Keenamnya adalah politikus PDIP. Yang lainnya adalah Azhar Muchlis dan Marthin Bria Seran dari Partai Golkar serta R. Sulistyadi dari Fraksi TNI/Polri.

Sementara anggota DPR yang diduga mencairkan cek melalui kerabatnya di antaranya Max Moein, William M. Tutuarima, dan almarhum Aberson Marle Sihaloho dari PDI Perjuangan. Selain itu ada Antony Zeidra Abidin dan Bobby S. Suhardiman dari Partai Golkar, serta Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri.

Namun, Yunus sendiri menolak berkomentar atas kebenaran informasi ini. "Saya tidak bisa berkomentar, tanya saja ke Komisi Pemberantasan Korupsi," ucap Yunus. (Majalah Tempo - Hikayat Cek Pembeli Suara)

Nyanyian Agus Condro

Salah satu ruangan di lantai 10 Gedung DPR/MPR, Jakarta, itu tidak terlalu luas, sekitar ukuran tiga kali enam meter, sama seperti ruangan kerja anggota dewan lainnya. Di dalamnya terdapat satu kursi dan meja kerja yang di atasnya terdapat satu unit komputer. Selain itu, ada empat kursi tamu dengan satu meja. Ruangan ini adalah milik Emir Moeis, Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Dari ruangan inilah kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom bergulir. Ini setelah Agus Condro mengungkapkan sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004 menerima uang dari Miranda Swaray Goeltom.

Menurut politisi dari PDIP tersebut, uang itu sebagai tanda terima kasih telah meloloskan Miranda hingga terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior BI. "Amplopnya warna putih...isinya 10 lembar travel cheque BII nilainya per lembar Rp 50 juta," kata Agus.

Agus menceritakan, ia mengambil uang itu bersama William Tutuarima, Budiningsih, Mateus Formes, dan Muhammad Iqbal. Selain Emir Moeis, di dalam juga ada Dudhie Makmun Murod, juga dari PDIP. Uang itu diserahkan Dudhie setelah mengambil dari Emir. Setiap amplop sudah diberi tanda. "Setelah dibuka, jumlahnya saya hitung 10. Mas Dudhie dibuka jumlahnya juga 10. Yang lainnya jumlahnya juga sama," ucap Agus. "Tidak ada tanda terima, cuma dikasih begitu saja."

Namun, kejujuran Agus ini dibantah Emir. "Sebelum ngomong itu mestinya dipikir dulu, kalau orangnya tidak terima gimana. Dan saya memang tidak terima," kata Emir. Tetapi, Agus maju terus. Saat diwawancarai reporter Liputan 6 SCTV, Ariyo Ardi, 20 Agustus 2008, Agus mengaku mendapat dukungan Megawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP, untuk membuka borok rekannya sendiri.

Selain di ruangan Emir itu, Agus juga masih mengingat Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP, dan Wakil Sekretaris Fraksi, Panda Nababan, juga berperan aktif dalam kasus ini. Keduanya mengarahkan politikus Banteng memilih Miranda, satu dari tiga calon yang diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebuah pertemuan pun dirancang di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. "Yang memimpin pertemuan itu Bang Panda (Panda Nababan)," ucap Agus.

Menurut Agus, sebelum memutuskan memilih Miranda, pimpinan fraksi mengumpulkan anggotanya. Dari 18 anggota, yang datang hanya 12 orang. "Pimpinan fraksi kemudian mengarahkan memilih Miranda karena reputasinya sudah internasional," ucap Agus.

Selain Emir, semua keterangan Agus juga ditampik Tjahjo, Panda, Dundhie. Tak hanya itu, Agus yang kini berdiam di Batang, Jawa Tengah, langsung dicopot sebagai anggota DPR. Namanya juga dicoret dari daftar calon anggota badan legislatif PDIP.

Miranda S Goeltom yang dituding Agus memberikan uang itu juga membantah. Mantan Deputi Gubernur BI ini menampik tuduhan suap saat uji kepatutan dan kelayakan pada 2004. Miranda juga menegaskan tidak mengenal Agus Condro.

Namun, dugaan suap yang diungkap Agus juga dirasakan Hakam Naja. Mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini mengaku pernah ditemui utusan Miranda Goeltom dan ditawari sejumlah uang. "Ada utusan yang menyebut kalau bisa saya bertemu," kata Hakam.

Belakangan, Emir Moeis juga mengaku melihat adanya bagi-bagi uang saat pemilihan Miranda. Emir juga kebagian, namun ia mengaku menolaknya. "Iya, ada bagi-bagi. Saya pernah lihat tapi ketika itu saya menolak," ujar Emir, seperti dilansir beberapa media massa.

Emir mengaku tidak mengetahui dari mana uang itu berasal. Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga dana itu bukan dari anggaran Bank Indonesia melainkan sponsor di luar BI. Menurut hasil penyelidikan KPK, adalah Nunun Nurbaetie yang berperan sebagai pengantar 480 lembar cek, masing-masing senilai Rp 50 juta, kepada empat anggota dewan.

Atas perannya itu, istri mantan Wakil Kepala Kepolisian Indonesia Komjen (Purn) Adang Daradjatun ini diperiksa oleh KPK pada Oktober 2008. "Dia syok," kata Partahi Sihombing, pengacara Nunun. Menurut Partahi, kliennya dicecar pertanyaan seputar kegiatannya dan soal penyerahan cek perjalanan. "Dia (Nunun) tidak ada kaitannya dengan kasus itu," kata Partahi (Majalah Tempo 15062009 - Sang Pengantar Cek Pelawat)

Emir Moeis menyayangkan adanya bagi-bagi uang yang menyebabkan rekannya, Dudhie Makmun Murod, menjadi tersangka. "Sebenarnya tanpa traveler's cheque Miranda memang layak dipilih," ucap Emir.

Ya, Miranda S Goeltoem terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior BI setelah meraih 41 suara lewat voting yang dilaksanakan Komisi IX DPR 8 Juni 2004. Ia menyisihkan dua kandidat lain Kepala Perwakilan BI di Tokyo Budi Rochadi yang mendapat 12 suara dan Deputi Gubernur BI, Hartadi A. Sarwono, satu suara.

Tapi, yang menarik dan patut disimak adalah pernyataan Emir yang akhirnya mengakui melihat adanya pembagian uang itu. Beranikah Emir mengungkap siapa saja rekan-rekannya di Komisi IX DPR yang menerima uang itu? Jika berani, berarti siapa tersangka baru yang ditetapkan KPK dalam kasus ini tampaknya hanya tinggal menunggu waktu. Semoga hiruk-pikuk pilpres tidak menenggelamkan kasus korupsi ini.(Liputan6.com)